Sandi Aset Bagi Prabowo Subianto, Ma'ruf Amin Beban Bagi Joko Widodo
NegeriNews - Tujuh Faktor Penyebab Jokowi Kalah di Pilpres 2019
Oleh Eddy Junaidi
Kondisi objektif ekonomi adalah penyebab utamanya
Dengan nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD) yang tidak bisa dikendalikan oleh Pemerintah karena asumsi APBN 2018 Rp 13.400 per USD. Saat ini, (31 Agustus 2018) nilai rupiah terhadap dolar AS telah menembus angka Rp 14.800. Padahal Bank Indonesia sudah melakukan intervensi di pasar uang dan pasar obligasi (SBN), menguras devisa yang semakin menipis. Enam bulan importir produk rumah tangga yang berbasis impor menahan harga, berharap dolar turun dan rupiah menguat. Namun gejolak harga di pasar tak tertahankan karena pengimpor mulai membeli barang dengan catatan terjadi penyesuaian harga, jika terus menerus tentunya inflasi juga akan terjadi.
Sementara itu, The Fed kembali akan menyesuaikan suku bunganya karena dinilai efektif memukul musuh utamanya, Cina, dan berdampak pada beberapa negara yang ditandai oleh AS sebagai musuh perang dagang (trade war) seperti: Rusia, Argentina, Brazilia, Turki, dan juga Indonesia. Geliat perang dagang paralel dengan gejolak harga minyak dunia yang di APBN hanya direncanakan USD 48 per barrel per hari, sementara harga sudah mencapai USD 77 per barrel per hari.
Eksesnya, APBN defisit memperkuat twin defisit bersama neraca perdagangan, dikhawatirkan dengan pembayaran cicilan dan bunga utang Rp 400 triliun baru-baru ini, cash flow pemerintah akan “bokek”. Twin defisit berdampak pada hancurnya fundamental ekonomi Indonesia dan mengganggu keseimbangan primer yang menjadi parameter utama, jika sudah defisit juga.
Selain itu, faktor utang pemerintah, BUMN, dan kondisi objektif perbankan (kredit macet), dan shortfall (kekurangan) pajak karena melesunya ekonomi riil adalah bom waktu yang jangan-jangan tidak tertahankan, dan bakal meledak di akhir tahun 2018. Ekonomi Indonesia sudah berada di zona merah, sebab itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) dan Menko Perekonomian Darmin Nasution tidak lagi berani membantah kondisi riil ekonomi yang terus memburuk.
Mereka saat ini sibuk rapat KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) bersama Bank Indonesia, hal ini merupakan indikasi ekonomi memasuki zona merah. Sampai SMI tidak merasa perlu untuk membuat APBN (P) di DPR karena buruknya wajah APBN kita saat ini.
66 Janji Kampanye, Pemberi Harapan Palsu sebagai Faktor Kedua
Nawacita dan Trisakti serta Indonesia Poros Maritim adalah warisan Bung Karno bersama PDI Perjuangan coba “dijual” oleh Joko Widodo sewaktu kampanye. Namun saat ini kondisinya “jauh panggang dari api”, bahkan 66 janji kampanyenya dicatat publik sebagai Pemberi Harapan Palsu (PHP). Hal ini tercatat sebagai persepsi publik, di mana ‘Nawacita’ dipelesetkan menjadi ‘duka cita’, lalu Indonesia sebagai poros maritim dunia dianggap pihak Barat bahwa Indonesia akan ofensif di geo-politik seperti era Bung karno dan menghidupkan lagi sentimen Barat terhadap poros Jakarta-Beijing di era Orde Lama.
66 janji kampanye Joko Widodo adalah titik balik degradasinya, sehingga kredibilitasnya untuk berjanji kembali ke publik dianggap PHP. Kondisi ini sangat mendegradasi (downgrade) dirinya sebagai kandidat Presiden 2019, karena terjadi public distrust(ketidakpercayaan publik).
Bagi publik Muslim, janji adalah utang dan publik kini sedang melawan lupa, karena jejak digital kembali beredar di media sosial.
Keberhasilan Joko Widodo di bidang infrastruktur juga terkendala dengan berbagai kecelakaan proyek yang mengindikasikan ambisi itu “dipaksakan”, sehingga publik tahu bahwa itu berhasil karena utang BUMN yang segunung, dan beberapa di antaranya (BUMN) terancam bangkrut karena banyak proyek dilaksanakan tanpa perencanaan yang matang.
Islamofobia Joko Widodo Berbuah Downgrade
Kepanikan Joko Widodo dengan manuver politik kelompok Islam saat Pilkada DKI Jakarta (2016) lalu berekses pada kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, berbuntut terbentuknya persepsi publik bahwa pemerintahan Joko Widodo anti-Islam. Kesalahan orang-orang sekitarnya kala itu, bahwa seolah-olah dengan merangkul NU (Nahdlatul Ulama) menganggap persoalan dengan kelompok Islam selesai. Padahal umat Islam itu 85 persen dari penduduk Indonesia yang saat ini mencapai 260 juta. Dengan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilpres 2019 mencapai 185 juta, berarti ada 157,25 juta pemilih yang beragama Islam.
Jika NU mengklaim berjumlah 70 juta orang, berarti dipertanyakan berapa orang yang patuh sampai ke bilik suara memilih Joko Widodo pada Pilpres 2019? Karena Ma’ruf Amin, Cak Imin (Muhaimin Iskandar), dan Said Aqil Siradj adalah bagian dari NU struktural, hanya berperan 30 persen mempengaruhi warga NU, sisanya 70 persen adalah NU kultural yang bersifat cair (pondok pesantren, jamaah, dan thariqah).
Hal ini terlihat dari kasus kekalahan Saifullah Yusuf yang didukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan NU Struktural pada Pilkada Jawa Timur 2018 oleh Khofifah Indar Parawansa yang mempunyai dukungan Muslimat dan kelompok NU kultural.
Jadi jelas, dengan menguasai NU menganggap merupakan pengamanan suara Islam adalah keliru. Ini adalah wujud dangkalnya pengetahuan Joko Widodo terhadap suara politik Islam. Gerakan 212 (2 Desember 2016) telah membesarkan Habib Rizieq Shihab merupakan akibat kesalahan Joko Widodo dalam memandang politik Islam.
Eksesnya, dengan mendukung Ahok dan taipan reklamasi, serta berbagai kebijakan yang terkesan Islamofobia membentuk persepsi publik Islam terhadap Joko Widodo. Inilah faktor ketiga penyebab Joko Widodo akan kalah pada Pilpres 2019.
Terbukti dengan kebijakan pelarangan gerakan #GantiPresiden2019 baru-baru ini, dengan terjadi persekusi terhadap Neno Warisman di Riau, Rocky Gerung dan Ratna Sarumpaet di Bangka Belitung, Ahmad Dhani di Surabaya, mengakibatkan nama Joko Widodo terdegradasi (downgrade) di publik Islam. Bahkan, Farid (oknum Banser) yang menghadang Ahmad Dhani cs. berteriak “FPI (Front Pembela Islam) tai dan Islam tai” lalu menjadi viral sehingga memperburuk situasi dan kondisi.
Apalagi ada pengakuan Neno Warisman bahwa Kapolda, Kapolres, dan Kapolsek terancam dipecat jika tidak berhasil menghambat gerakan #GantiPresiden2019. Pengakuan BIN (Badan Intelijen Negara) bahwa Kabinda salah penanganan di Riau terhadap Neno Warisman adalah bentuk salah kaprah dan men-downgrade Joko Widodo. Semenjak kapan BIN operasi intelijen secara terbuka, inikah ekses kepanikan Joko Widodo?
Faktor keempat adalah harapan palsu (PHP) kepada Prof. M. Mahfud MD sebagai Cawapres yang terjadi last minutes sehingga harga diri yang bersangkutan tersobek dan kemudian diungkap melalui “carok” versi Mahfud di acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One sebulan lalu.
Rocky Gerung yang tampil di acara ILC mengatakan, hal itu otentik kesalahan Joko Widodo yang tidak mampu menghadapi tekanan konspirasi Cak Imin, Ma’ruf Amin, dan Said Aqil Siradj. Ketakutan NU beralih pada Prabowo Subianto berakibat Joko Widodo mengalihkan pilihannya pada Prof. Ma’ruf Amin (MA), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Aam NU. Lalu terkesan NU terbelah antara NU struktural yang ke Joko Widodo dan NU kultural yang kembali menjadi massa cair.
Faktor pemilihan MA adalah faktor kelima, karena KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) mantan Rais Aam NU dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) langsung bereaksi negatif, dan meminta MA turun dari Rais Aam NU karena lebih tinggi derajatnya daripada umara, namun sampai saat ini belum dilakukannya. Jabatan sebagai Ketua MUI juga digugat Dewan Pertimbangan MUI yang dipimpin oleh Prof. Din Syamsuddin. From Hero To Zero, ungkapan yang pantas disandang MA saat ini. Hero, ketika atas nama MUI, ia mengeluarkan fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama pada 2016, menjadi zero karena masih berambisi di usianya yang 76 tahun sebagai calon wakil presiden (cawapres) mewakili ulama. Ijtima’ Ulama telah menetapkan Prabowo Subianto sebagai capres dan Habib Salim Segaf Al-Jufri, Ketua Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) serta Ustaz Abdul Somad (UAS) sebagai cawapres. MA adalah liability(beban) bagi Joko Widodo maka muncul spekulasi adanya pergantian nanti di tengah jalan jika Joko Widodo menang pada Pilpres 2019.
PHP terhadap Mahfud MD berdampak pada etnis Madura, suku asal yang bersangkutan yang merupakan suku terbesar keempat setelah Jawa, Sunda, Batak, yang berjumlah 21 juta orang yang tersebar luas, khususnya di Jawa Timur dan berbagai daerah pesisir lainnya. Madura akan turun jika #Ganti Presiden 2019 dilakukan kembali oleh Ahmad Dhani di Surabaya medio September 2018 sampai-sampai Walikota Surabaya Tri Rismaharini berinisiatif langsung mendamaikan pihak Ahmad Dhani dan Banser baru-baru ini. Kebijakan penghadangan Gerakan #Ganti Presiden 2019 dilakukan oleh POLRI, BINDA, dan Banser di Pulau Jawa akan memicu konflik horizontal, khususnya di Jawa Timur.
FPI telah melakukan konsolidasi pasca-keberadaan mereka melakukan aksi sosial di Lombok dan beberapa personilnya sudah terpancing menantang Banser secara fisik, dan Madura Bersatu (diantaranya adalah ustaz dan kiai-kiai Madura) pendukung Gerakan 212 kecewa karena Farid (Banser NU) meneriaki “Islam tai”. Dari kalangan Istana Ali Mochtar Ngabalin, di stasiun televisi menganggap gerakan itu sebagai makar, dan menuding orang yang melakukannya hanya mengaku-ngaku ustaz dan mubaligh, ini tentu saja sebentuk “api” yang dikembangkan dan akan memicu konflik horizontal serta men-downgrade posisi politik Joko Widodo.
Kesalahan kebijakan menghidupkan kembali sentimen politik sektarian; elemen 212, FPI, Islam kanan, didukung “power of emak-emak” bersatu justru membesarkan gerakan #GantiPresiden2019, karena Joko Widodo salah paham dalam mengantisipasi gerakan ini. Akankah berulang seperti Gerakan 212 yang menjatuhkan Ahok pada 2016 lalu? Publik saat ini “disiram” dengan peristiwa pelukan Prabowo Subianto dan Joko Widodo yang “dipaksa” berpelukan oleh atlet pencak silat. Hal itu terjadi ketika perayaan pesta emas cabang olah raga silat di perhelatan Asian Games 2018 di Jakarta.
Sandiaga Uno adalah Faktor Keenam
Bagi Joko Widodo, MA adalah liability (beban), sedangkan bagi Prabowo Subianto (PS), Sandiaga Uno adalah aset pendukung pendulangan suara seperti cabang pencak silat di Asian Games. Sandi dianggap katalisator dari PS yang sangat nasionalis dengan mengusung Pasal 33 UUD 1945 sebagai acuan dasarnya terlihat dari bukunya “Paradoks Indonesia”. Sementara Pasal 33 UUD 1945 sebagai perwujudan ekonomi kerakyatan Indonesia butuh katalisator yang menjembatani untuk masuk ke dalam sistem global (neoliberalisme), dan itu ada pada sosok Sandi Uno.
Keberhasilan Sandi sebagai pelaku pasar adalah sinyal positif investor dan Washington DC sebagai faktor yang selama ini dianggap “menolak PS”. Sandi adalah bentuk kompromi PS untuk memperoleh dukungan pasar dan Washington DC. Maka itu, Sandi adalah aset bagi PS. Bagaimana tidak, selain restu “pasar”, Sandi adalah magnitude bagi pemilih usia muda (17–34 tahun) yang berjumlah 82 juta orang atau 44 persen pemilih. Ribuan pemuda bergabung dengan #KamiBerani bersepakat mendukung Sandi pada Pilpres 2019, mulai 5 September 2018 nanti akan deklarasi di 20 provinsi.
Sandi adalah new hope (harapan baru) bagi kalangan muda dan new deal (kesepakatan baru) bagi elite politik Indonesia. Di Partai Golkar sudah mulai ada riak-riak karena dua tokoh yakni Akbar Tandjung dan Aburizal Bakrie (Ical) mendukung Sandi. Gerakan #KamiBerani menjadi penentu pemenangan Prabowo-Sandi (PADI).
Belum lagi “Power of Emak-emak” dari segmen pemilih perempuan yang sangat signifikan jumlahnya berhimpit dengan gerakan #GantiPresiden2019, karena ada faktor Bunda Neno yang mendadak menjadi idola juga karena kekeliruan pemerintah menangani gerakan ini (misleading). Sandi sudah menjadi idola anak muda dan emak-emak saat ini, bahkan sebelum kampanye dimulai.
Faktor Ketujuh adalah Pencitraan Joko Widodo yang Salah Strategi, karena petahana seharusnya kampanye berbasis kinerja. Kegagalan membangun citra milenial tampak pada aksi mengendarai motor Chopper beberapa waktu lalu, dan puncaknya pada video pembukaan Asian Games yang viral. Ternyata menjadi bumerang bagi Joko Widodo karena citra dirinya jauh dari persepsi tokoh idola anak muda sebab faktor MA sebagai cawapres. Sementara, kalangan muda pasti mengarah pada Sandi yang merupakan anak muda sukses dan gaul. Pencitraan tentang infrastruktur juga dapat dipatahkan karena dampaknya belum dirasakan rakyat secara mayoritas, kalah dengan gejolak harga yang terjadi saat ini. Redistribusi aset yang dijalankan dengan bagi-bagi sertifikat juga menjadi blunder karena berbenturan dengan kebijakan Perhutanan Sosial yang lebih kuat payung hukumnya.
Dalam komunikasi politik, citra itu adalah “bayangan” kadangkala tidak sesuai dengan realitas. Pencitraan tepat untuk penantang Joko Widodo pada Pilpres 2019. Namun ketika menjadi petahana pencitraan harus berbasis kinerja yang justru menjadi kelemahan dari pesona dirinya saat ini.
Penurunan elektabilitas Joko Widodo dicoba dikatrol dengan polling-polling perusahaan “sure pay” agar secara opini publik elektabilitasnya tetap tinggi. Seharusnya, belajar dari Pilkada Jawa Barat dan Jawa Timur bahwa gerakan #GantiPresiden2019 adalah gerakan riil dari masyarakat, jadi pencitraan hanya memperburuk saja kinerja mesin politiknya.
Faktanya, kinerja ekonomi sangat buruk, yang berada di zona merah, 66 janji kampanye 2014 tidak terealisasi karena tidak menjadi PR (Pekerjaan Rumah) bagi Joko Widodo dan kabinetnya yang disorientasi Nawacita. Islamofobia bermula dalam mendukung Ahok, sehingga salah membaca politik Islam, lalu muncullah politik sektarian pada proses Pilpres 2019. Salah membaca keadaan sehingga memilih Ma’ruf Amin sebagai cawapres dan mem-PHP Prof. Mahfud MD yang juga kader NU dan berasal dari Madura sehingga etnis ini memunculkan gerakan Anti Joko Widodo dan bergabung dengan gerakan #Ganti Presiden 2019.
Faktor Sandi adalah penentu kekalahan Joko Widodo pada Pilpres 2019 nanti yang berharap suara dari segmen muda dan pencitraan yang salah strategi. Apakah akan kalah sebelum waktunya, kita lihat awal Oktober 2018 nanti, ketika kampanye sudah dimulai. [tsc]
Post a Comment