Header Ads

Ad Home

Inilah Kunci Agar Anda Diberikan Jalan Saat Kesulitan

Setiap kita mungkin pernah berada dalam kondisi yang sulit. Hal yang dilakukan kebanyakan orang adalah mengeluh bahkan menyalahkan kondisi yang terjadi. Hanya sebagian kecil saja yang mampu menghadapi kesulitan dengan penuh kesabaran dan senyum ikhlas. Padahal sebenarnya tidak ada keburukan untuk orang yang beriman karena setiap keadaan bagi mereka itu baik dan membawa kebaikan. Saat diuji kesulitan ia bersabar, itu baik baginya. Dan saat diuji dengan kemudahan ia bersyukur itu juga baik baginya.

Sahabat.. dua hari yang lalu, saya mendapat kiriman pesan dari group WA tentang kisah seorang guru yang ahli syukur. Kisah ini benar-benar memberi inspirasi buat saya pribadi. Karena kisah ini menggambarkan kebersahajaan, kesungguhan untuk beramal dan kesyukuran yang menginspirasi. Saya semakin yakin bahwasannya syukur itu dapat membukakan jalan kemudahan saat kesulitan, syukur itu menambah nikmat dan memberikan ketenangan. Pagi ini.. Saya ingin berbagi kisah inspirsi dengan sahabat semua. Semoga kita dapat menemukan kebaikan didalamnya. 

Pak Hamid adalah seorang guru di desa terpencil. Suatu hari ia duduk termangu. Dipandanginya benda-benda yang berjajar di depannya dengan masygul. Bertahun-tahun dimilikinya dengan penuh kebanggaan. Dirawat dengan baik hingga selalu bersih dan mengkilap. Jika ada orang yang bertanya, Pak Hamid akan bercerita dengan penuh kebanggaan.

inilah kunci agar anda diberikan jalan saat kesulitan
Siapa yang tidak bangga memiliki benda-benda itu? Berbagai plakat penghargaan yang diterimanya selama 35 tahun pengabdiannya sebagai guru di daerah terpencil. Daerah terisolasi yang tidak diminati oleh guru-guru yang lain. Namun Pak Hamid ikhlas menjalaninya, walau dengan gaji yang tersendat dan minimnya fasilitas sekolah. Cinta Pak Hamid pada anak-anak kecil yang bertelanjang kaki dan rela berjalan jauh untuk mencari ilmu, mampu menutup keinginannya untuk pindah ke daerah lain yang lebih nyaman. 

Kini masa itu sudah lewat. Masa pengabdiannya usai sudah pada usianya yang keenam puluh. Meskipun berat hati, Pak Hamid harus meninggalkan desa itu beserta keluarganya. Mereka tinggal di rumah peninggalan mertuanya di pinggir kota. Jauh dari anak didik yang dicintainya, jauh dari jalan tanah, sejuknya udara dan beningnya air yang selama ini menjadi nafas hidupnya. “Hei, jualan jangan sambil melamun!” teriak pedagang kaos kaki di sebelahnya. Pak Hamid tergagap.“Tawarkan jualanmu itu pada orang yang lewat. 

Kalau kamu diam saja, sampek elek ra bakalan payu!” (sampai butut gak akan laku) kata pedagang akik di sebelahnya. “Jualanmu itu menurutku agak aneh,” ujar pedagang kaos kaki lagi. “Apa ada yang mau beli barang-barang seperti itu ? Mungkin kamu mesti berjualan di tempat barang antik. 
Bukan di kaki lima seperti ini”. Pak Hamid tak menjawab. Itu pula yang sedang dipikirkannya. 
Siapa yang tertarik untuk membeli plakat-plakat itu? Bukanlah benda-benda itu tidak ada gunanya bagi orang lain, sekalipun sangat berarti baginya ? “Sebenarnya kenapa sampai kau jual tanda penghargaan itu ?” tanya pedagang akik.“Saya butuh uang.” “Apa isteri atau anakmu sedang sakit ?”

“Tidak. Anak bungsuku hendak masuk SMU. Saya butuh uang untuk membayar uang pangkalnya.”
“Kenapa tidak ngutang dulu. Siapa tahu ada yang bisa membantumu.”“Sudah. Sudah kucoba kesana-kemari, namun tak kuperoleh juga.” “Hei, bukankah kau punya gaji...eh... pensiun maksudku.” “Habis buat nyicil motor untuk ngojek si sulung dan buat makan sehari-hari.” Penjual akik terdiam. Mungkin merasa maklum, sesama orang kecil yang mencoba bertahan hidup di kota dengan berjualan di kaki lima.

“Kau yakin jualanmu itu akan laku?”penjual kaos kaki bertanya lagi setelah beberapa saat. Matanya menyiratkan iba. “Insya Allah. Jika Allah menghendaki aku memperoleh rejeki, maka tak ada yang dapat menghalanginya. ”Siang yang panas. Terik matahari tidak mengurangi hilir mudik orang-orang yang berjalan di kaki lima itu. Beberapa orang berhenti, melihat-lihat akik dan satu dua orang membelinya. Penjual akik begitu bersemangat merayu pembeli. Rejeki tampaknya lebih berpihak pada penjual kaos kaki. Lebih dari dua puluh pasang kaos kaki terjual. Sedangkan jualan Pak Hamid, tak satupun yang meliriknya. Keringat membasahi tubuh Pak Hamid yang mulai renta dimakan usia.

Sekali lagi dipandanginya plakat-plakat itu. Kegetiran membuncah dalam dadanya. Berbagai penghargaan itu ternyata tak menghidupinya. Penghargaan itu hanya sebatas penghargaan sesaat yang kini hanya tinggal sebuah benda tak berharga. Sebuah ironi yang sangat pedih. Tak terbayangkan sebelumnya. Predikatnya sebagai guru teladan bertahun yang lalu, tak sanggup menghantarkan anaknya memasuki sekolah SMU. Sekolah untuk menghantarkan anaknya menggapai cita-cita, yang dulu selalu dipompakan ke anak-anak didiknya. Saat kegetiran dan keputusasaan masih meliputinya, Pak Hamid dikejutkan oleh sebuah suara.

“Bapak hendak menjual plakat-plakat ini?” seorang lelaki muda perlente berjongkok sambil mengamati jualan Pak Hamid. Melihat baju yang dikenakannnya dan mobil mewah yang ditumpanginya dengan supirnya, ia sepertinya lelaki berduit yang kaya raya. Pak Hamid tiba-tiba berharap. “Ya...ya..saya memang menjual plakat-plakat ini,” jawab Pak Hamid gugup.“Berapa bapak jual setiap satuannya? ”Pak Hamid berfikir,”Berapa ya? Bodoh benar aku ini. Dari tadi belum terpikirkan olehku harganya. “Berapa, Pak?” “Eee...tiga ratus ribu.”

“Jadi semuanya satu juta lima ratus. Boleh saya beli semuanya ? Hah?? Dibeli semua, tanpa ditawar lagi! Kenapa tidak kutawarkan dengan harga yang lebih tinggi? Pikir Pak Hamid sedikit menyesal. Tapi ia segera menepis sesalnya. Sudahlah, sudah untung bisa laku. “Apa bapak punya yang lain. Tanda penghargaan yang lain misalnya ...”

Tanda penghargaan yang lain? Pak Hamid buru-buru mengeluarkan beberapa piagam dari tasnya yang lusuh. Piagam sebagai peserta penataran P4 terbaik, piagam guru matematika terbaik se kabupaten, bahkan piagam sebagai peserta Jambore dan lain-lain. Tanpa ia duga laki-laki itu langsung membayar semua piala yang dijualnya. Total uang yng diterima pak hamid sejumlah 3,5 juta. Melebihi apa yang ia butuhkan saat itu. Meski masih bingung dengan apa yang dialaminya, pa Hamid mengucap syukur atas apa yang diterimanya hari itu.

Sesampainya dirumah, pa Hamid langsung menemui istrinya, ada apa pak, ko ga seperti biasanya. Bapa terlihat kebingungan tanya istrinya. Tadi ada yang cari bapak dan menitipkan sebuah kantung plastik untuk bapak. Pa hamid tambah heran, terlihat air mukanya penuh pertanyaan. Ia merasa seperti mengenal bungkusan plastik yang baru saja diterima dari istrinya. Kemudian pa hamid langsung membuka bungkusan plastik tersebut, Lalu ia menemukan surat di dalamnya. 

“ Pa Hamid yang baik.. Saya adalah murid SD bapak dulu, mungkin bapak sudah lupa dengan saya tapi saya tidak lupa dengan bapak karena bapak adalah salahsatu orang yang berjasa dalam hidup saya. Saya kembalikan piala piala itu pada bapak, saya tahu bahwa benda itu sangat berharga bagi bapak. Terimakasih sudah menjadi guru yang baik untuk saya” 

Pa Hamid tertunduk diam, tak terasa bulir air mata mengalir, rasa haru bercampur bahagia menutupi seluruh ruang dihatinya. Allahhuakbar.. berulang kali ia bertakbir lirih. Kemudian ia beranjak untuk mengambil air wudhu untuk sujud syukur atas karunia yang diterimanya saat itu.

Sahabat.. kita dapat belajar dari berbagai hal yang kita temui dalam keseharian kita. Termasuk dari kisah diatas. Ada banyak hikmah dari peristiwa yang kita lihat dan saksikan. Mari membuka hati, untuk mengahayati semua yang terjadi, membuka mata agar menemukan hal yang bermakna. Ingat.. Allah tidak menciptakan segalanya secara kebetulan, semua tercipta atas kehendakNya. Agar dari hal yang diciptakanNya kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah. Semoga artikel ini, memberi pelajaran yang baik juga hikmah pada semua pembacanya. aamiin
Baca Juga

Powered by Blogger.